Sejarah Perkembangan Restorative Justice



Konsep pendekatan restoratif merupakan suatu perkembangan dari pemikiran manusia yang didasarkan pada tradisi-tradisi peradilan dari peradaban bangsa-bangsa Arab purba, bangsa Yunani dan bangsa Romawi dalam menyelesaikan masalah termasuk penyelesaan masalah tindak pidana. Istilah umum tentang pendekatan restoratif diperkenalkan untuk pertama kali oleh Albert Eglash yang menyebutkan istilah restorative justice yang dalam tulisannya mengulas tentang reparation menyatakan bahwa restorative justice adalah suatu alternatif pendekatan restitutif terhadap pendekatan keadilan retributif dan keadilan rehabilitatif.[1]
Sejarah perkembangan hukum modern penerapan restorative justice diawali dari pelaksanaan program penyelesaian di luar peradilan tradisional yang dilakukan masyarakat yang disebut dengan victim offender mediation yang dimulai pada tahun 1970-an di Negara Canada. Program ini awalnya dilaksanakan sebagai tindakan alternatif dalam menghukum pelaku kriminal anak, dimana sebelum dilaksanakan hukuman pelaku dan korban diizinkan bertemu untuk menyusun usulan hukuman yang menjadi salah satu pertimbangan dari sekian banyak pertimbangan hakim. Program ini mengangap pelaku akan mendapatkan keuntungan dan manfaat dari tahapan ini dan korban juga akan mendapat perhatian dan manfaat secara khusus sehingga dapat menurunkan jumlah residivis dikalangan pelaku anak dan meningkatkan jumlah anak yang bertanggung jawab dalam memberikan ganti rugi pada pihak korban. Pelaksanaan program tersebut diperoleh hasil tingkat kepuasan yang lebih tinggi bagi korban dan pelaku daripada saat mereka menjalani proses peradilan tradisional.[2]
Perkembangan konsep restorative justice dalam 20 tahun terakhir mengalami perkembangan yang sangat pesat di beberapa Negara seperti Australia, Canada, Inggris, Wales, New Zealand dan beberapa Negara lainnya di Eropa dan kawasan Pasifik. Begitu juga di Amerika Serikat sebagai sebuah Negara yang sering membentuk perkumpulan dengan Negara-negara untuk memperkenalkan ukuran penghukuman secara represif tidak dapat menghindar dari pengaruh kuat perkembangan restorative justice. keadilan  restorative  justice  menurut  Stephenson,  Giller,  dan Brown[3] terdiri dari 4 (empat) bentuk keadilan restoratif. Semua bentuk tersebut mempunyai tujuan yang sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan kepentingan pelaku, korban, dan masyarakat. Keempat bentuk keadilan restoratif tersebut adalah:
1.      Victim Offender Mediation (VOM)
Proses restorative justice terbaru adalah victim offender mediation yang pertama kali dilaksanakan sejak tahun 1970 di Amerika bagian utara dan Eropa seperti Norwegia dan Finlandia. VOM di Negara bagian Pennsylvania Amerika Serikat menjalankan program tersebut dalam kantor pembelaan terhadap korban di bawah tanggung jawab Departemen Penjara. Program tersebut berjalan dengan sebuah ruang lingkup kejahatan kekerasan termasuk pelaku yang diancam hukuman mati.
Program tersebut dirancang dan diperbaiki selama waktu 5 tahun dengan kerangka pengertian dan pemahaman konsep restorative justice yang memusatkan perhatian pada penyelenggaraan dialog dimana korban dimungkinkan ikut serta bertukar pikiran sehubungan dengan akibat yang ditimbulkan berupa trauma dari kejahatan dan menerima jawaban dan informasi tambahan dari pelaku yang telah menyakitinya. Hal itu memberikan kesempatan kepada korban untuk mendengan dan memberikan kepada pelaku sebuah kesempatan untuk menerima tanggung jawab perbuatannya dan mengungkapkan perasaannya tentang kejahatan dan konsekuensi yang diterimanya.
VOM dimulai sekitar tahun 1960 dan yang mana pada tahun 1970 dilaksanakan pada tingkatan local. Pada saat dilakukan di tingkat local itulah mulai banyak orang direkrut untuk menjadi mediator. Banyak juga yang ditangani oleh lawyer atau sarjana hukum sukarela dan belum melakukan pertemuan tatap muka. Tujuan dilaksanakannya VOM adalah memberi penyelesaian terhadap peristiwa yang terjadi di antaranya membuat sanksi alternative bagi pelaku atau untuk melakukan pembinaan di tempat khusus bagi pelanggaran yang benar-benar-benar serius. Bentuk dasarnya proses ini melibatkan dan membawa bersama korban dan pelakunya kepada satu mediator yang merngkorrdinasikan dan memfasilitasi pertemuan.
Peserta yang terlibat dalam bentuk mediasi adalah korban yang secara sukarela, pelaku, pihak yang bersimpati terhadap kedua pihak, orangtua/wali dari kedua pihak dan orang yang dianggap penting bila diperlukan serta mediator yang dilatih khusus.
2.      Conferencing/Family Group Confencering (FGC)
Conferencing dikembangkan pertama kali di Negara New Zealand pada tahun 1989 dan di Australia pada tahun 1991 dan pada mulanya merupakan refleksi atau gambaran aspek proses secara tradisional masyarakat yang diperoleh dari penduduk asli New Zealand yaitu bangsa Maori. Proses yang dilakukan masyarakat ini terkenal dengan sebutan wagga wagga dan telah dipakai untuk menyelesaikan permaalahan dalam masyarakat tradisional dan merupakan tradisi yang telah ada sejak lama. Orang yang turut serta dalam proses family group conferencing adalah anggota masyarakat, pelaku, korban, mediator, keluarga atau pihak dari korban atau pelaku serta lembaga yang punya perhatian terhadap permasalahan anak.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan kejelasan dari peristiwa yang terjadi dengan member semangat kepada pelaku, mengembalikan kerugian korban, melakukan reintegrasi korban ke masyarakat, dan pertanggungjawaban bersama. Sasarannya memberikan kesempatan kepada korban untuk terlibat secara langsung dalam diskusi dan pembuatan keputusan mengenai pelanggaran yang terjadi padanya dengan sanksi yang tepat bagi pelaku serta mendengar secara langsung penjelasan dari pelaku tentang pelanggaran yang terjadi. Kemudian meningkatkan kepedulian pelaku atas akibat perbuatannya kepada orang lain serta memberi kesempatan pelaku bertanggung jawab penuh atas perbuatannnya. Selain itu bagi keluarga atau pihak pelaku dapat bersama-sama menentukan sanksi bagi pelaku dan membimbingnya setelah mediasi berlangsung. Terakhir adalah memberikan kesempatan kepada korban dan pelaku untuk saling berhubungan dalam memperkuat kembali tatanan masyarakat yang sempat terpecah karena terjadinya pelanggaran oleh pelaku terhadap korban.
3.      Circles
Pelaksanaan Circles pertama kali sekitar tahun 1992 di Yukon, Canada. Circles sama halnya dengan conferencing yang dalam pelaksanaannya memperluas partisipasi para peserta dalam proses mediasidi luar korban dan pelaku utama. Tujuannya membuat penyelesaian terhadp suatu tindak pidana dengan mempertemukan korban, pelaku, masyarakat dan pihak lainnya yang berkepentingan dengn terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran yang ingin dicapai melalui proses Circles adalah terlaksananya penyembuhan pada pihak yang terluka karena tindakan pelaku dan member kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya dengan tanggung jawab penyelesaian kesepakatan.
Peserta dalam Circles adalah korban, pelaku, lembaga yang memperhatikan masalah anak, dan masyarakat. Tata cara pelaksanaan Circle, semua peserta duduk secara melingkar seperti sebuah lingkaran. Caranya adalah pelaku memulai dengan menjelaskan tentang semua yang dilakukannya lalu semua peserta diberi kesempatan untuk berbicara.
4.         Restorative Board/Youth Panels.
Program ini mulai dilaksanakan di Negara bagian Vermont pada tahun 1996 dengan lembaga pendamping Bureau of Justice Assistance setelah melihat respon yang baik dari warga Negara terhadp studi yang dibuat oleh Spring tahun 1994 yang memaparkan keikutsertaan masyarakat dalam program reparative tersebut dan sifat perbaikan menjadi dasarnya.
Tujuan menyelesaikan perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak dengan melibatkan pelaku, korban, masyarakat, mediator dan juga hakim, jaksa, dan pembela secara bersama merumuskan bentuk sanksi yang tepat bagi pelaku dan ganti rugi bagi korban atau masyarakat.sasarannya adalag peran aktif serta anggota masayarakat serta langsung dalam proses peradilan tindak pidana, kemudian memberi kesempatan kepada korban dan anggota masyarakat melakuakn dialog secara langsung dengan pelaku. Pertemuan yang diadakan tersebut menginginkan pelaku melakukan pertanggungjawaban secara langsung atas tindakan yang telah dilakukannya.
Masyarakat Indonesia sendiri telah mengenal konsep restorative justice dalam kebiasaan, hukum adat serta nilai-nilai yang lahir di dalamnya. Sebelum dicanangkan di dalam sebuah peraturan khusus di Indonesia, Negara yang terkenal dengan Pancasilanya ini juga sesungguhnya telah memiliki konsep restorative justice jauh sebelum ide ini hadir dan masuk ke dalam sistem peradilan pidana anak. Pada Sila ke-4 Pancasila, menyebutkan bahwa “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Artinya bangsa Indonesia  sendiri  telah  mengagungkan  prinsip  musyawarah  sebagai  suatu kebiasaan yang mendarah daging untuk menyelesaikan segala permasalahan yang ada di bangsa ini. Inilah bukti bahwa sebenarnya restorative justice juga telah berkembang di dalamnya. Musyawarah akan mencapai suatu kesepakatan yang win-win solution tanpa merugikan atau menyebabkan ketidakseimbangan terhadap satu pihak sehingga penyelesaian pun dapat tercapai. Dalam konteksi Indonesia, Bagir  Manan  menyebutkan  bahwa  konsep  dan  prinsip  restorative  justice sebenarnya telah dipraktekan oleh sejumlah masyarakat adat Indonesia.57
Braithwaite mengatakan,
 several years ago in Indonesia I was told of restorative justice rituals in western Sumatera that ere jointly conducted by a religious leader and scholar-the person in community seen as having the greatest spiritual riches and the person seen as having the greatest of learning. My inclination yhen was to recoil from the elitism of this and insist thet many (if not most) citizens have the resources (given a little help with training) to facilitate processesof healing. While I still believe this, I now think it might be a mistake to seek the persuade Asians to democratize their restorative juctice practice”.58
(Beberapa bulan lalu di Indonesia, saya telah menceritakan ritual pendekatan restorative di Sumatera Barat yang telah diselenggarakan bersama-sama oleh seorang pemimpin religius dan seorang cendekiawan (orang di dalam masyarakat yang dipandang mempunyai kekayaan rohani yang terbesar dan orang yang dipandang memiliki pembelajaran yang terbesar). Kecenderungan saya kemudian melonjak atas elitisme dari hal ini dan tetap menekankan bahwa banyak orang dari para penduduk atau warga Negara yang mempunyai sumber daya (dengan diberikan satu bantuan kecil pelatihan) untuk memfasilitasi proses penyembuhan atau pemulihan. Selagi saya masih mempercayai hal ini, kini saya berpikir adalah hal yang bisa menjadikan satu kekeliruan jika berupaya membujuk orang-orang Asia untuk mendemonstrasikan praktik pendekatan restoratif. Artinya bahwa di dalam kultur bangsa Indonesia sendiri yaitu khususnya hukum adat telah ada praktik pendekatan restoratif.

Daly and Immarigeon[4] menambahkan bentuk-bentuk keadilan restoratif yang berkembang di dunia, terutama di Amerika Serikat dan Kanada, selain yang telah disebutkan di atas, yaitu:
1.  Hak tahanan dan alternatif selain penjara
Bentuk keadilan restoratif ini berkembang sekitar tahun 1970 ketika penjara mengalami ledakan penghuni. Berkembang kesadaran bahwa tahanan adalah korban dari penyingkiran sosial masyarakat dai dikriminasi, karen aitu mereka juga harus diberi hak untuk kembali ke masyarakat dan harus ada alternatif selain penjara.
2.  Pilihan penyelesaian sengketa
Berkembang pertengahan tahun 1970, ditandai dengan gerakan untuk memakai proses yang lebih informal dan turut melibatkan masyarakat. Alternatif penyelesaian sengketa difokuskan pada negosiasi, pertemuan korban-pelaku, dan berkurangnya peran para profesional hukum.
3.  Advokasi korban
Keadilan restoratif ini melakukan advokasi untuk korban tindakan kriminal karena mereka kurang bisa berusara dalam proses peradilan negara.
4.  Justice Circle
Muncul di Kanada sekitar tahun 1980-an, yaitu proses mencapai konsensus berdasarkan kerangka komprehensif yang tidak hanya melibatkan korban dan pelaku, tetapi juga keluarga mereka dan masyarakat.
Dalam konsep hukum pidana positif dalam penyelesaian kasus pidana, pada umumnya diselesaikan melalui jalur formal, yaitu lembaga peradilan (litigasi). Jalur ini terkenal dengan istilah in court system. Dalam tataran teori, ada tiga hal yang ingin dicapai dari hasil final yang akan dikeluarkan suatu lembaga peradilan tersebut, yaitu: keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.[5]
Meskipun demikian, dalam dataran prakteknya, sangat sulit ketiganya dapat terpenuhi sekaligus. Adapun hasil yang akan tercipta dari proses penyelesaiannya dikenal dengan istilah win lose solution, di mana akan terdapat pihak yang menang dan ada pihak yang kalah. Dengan kenyataan seperti ini, penyelesaian suatu perkara umumnya kerap menimbulkan satu rasa “tidak enak” di benak pihak yang kalah, sehingga berupaya untuk mencari “keadilan” ke tingkat peradilan lebih lanjut. Hal ini pada umumnya dicap sebagai salah satu kelemahan bagi suatu lembaga litigasi yang tidak dapat dihindari walupun sudah menjadi suatu ketentuan.[6]
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro perdamaian merupakan inti dari restorative justice. Perdamaian antara korban dan pelaku atau pihak yang bersengketa serta perdamaian yang dimaksud bertujuan agar keadaan yang menimbulkan perselisihan atau persengketaan itu bisa di netralisir sehingga antara korban dan pelaku kembali menjadi seperti semula sebelum terjadi persengketaan inilah yang di namakan perdamaian. Bahwa perdamaian pada prinsipnya harus menekankan pada jalan ekspos dan responsibilitas. Ekspos artinya pelaku membeberkan semua tindakan kejahatannya untuk mendapat respon dari korban yang diharapkan akan menanggapi dengan lunak. Kemudian mengenai responsibilitas, memiliki dua elemen yaitu: responsibility dan abiity. Ability artinya apa yang mampu dilakukan oleh pelaku dalam merespon tuntutan korban.[7]
Konsiliasi dalam kamus diartikan sebagai permufakatan (perdamaian), perdamaian atau perdamaian.[8] Dalam pengertian kamus tersebut, konsiliasi dapat bermakna hasil maupun proses, sehinga rekonsiliasi dapat diartikan permufakatan kembali atau proses perdamaian (pendamaian) atau perdamaian itu sendiri, telah terjadi ketidakdamaian dalam kurun waktu tertentu. Maka dapat dirumuskan beberapa prinsip yang harus ada dalam sebuah proses perdamaian sebagai berikut :
1.  Pengungkapan Kebenaran
Prinsip pengungkapan kebenaran ini mutlak ada, karena ia adalah gerbang untuk terbukanya pintu perdamian. Pengungkapan kebenaran menjadi penting karena suatu persoalan tidak mungkin dapat diselesaikan jika kejadian perkaranya masih dalam misteri, belum jelas dan simpang siur.
Hak untuk mendapatkan kebenaran (the rights to know the truth) memiliki payung hukum yang kuat. Hak ini diakui sebagai implementasi dari kewajiban negara dalam menghormati dan menjamin hak-hak yang diakui dalam kovenan-kovenan internasional. Berdasarkan kewajiban inilah kemudian oleh banyak ahli termasuk dalam praktek yurisprudensi di sejumlah pengadilan Amerika memaknainya sebagai dasar kewajiban negara untuk mencegah sekaligus melakukan penyelidikan yang serius terhadap dan menghukum pelakunya dan memberikan kompensasi kepada korban.[9]
Dalam konteks lain, hak mengetahui kebenaran bagi korban atau kewajiban mengungkap kebenaran bagi pemerintah juga muncul sebagai alat untuk melakukan remedy (upaya penanganan hukum) yang efektif. Perlunya remedy efektif mengandaikan proses pengungkapan kebenaran yang maksimal melalui media penyelidikan, pemeriksaan, penyidikan maupun pemeriksaan di Pengadilan. Remedy yang efektif dapat terwujud jika dilakukan pengungkapan kebenaran baik dalam konteks pelaksanaan prosekusi maupun dalam kaitannya dengan rehabilitasi dan kompensasi terhadap korban.[10]
2.  Pelurusan Kebenaran
Kebenaran yang diperoleh harus mampu mengakomodir semua keluhan dari korban dan sesuai dengan keterangan pelaku sehingga didapatkan satu kebenaran baru yang menjadi tantangan terberat dari sebuah proses perdamaian.
3.  Pengakuan dan Pengampunan
Pengakuan adalah sebuah prinsip perdamaian yang sangat penting. Pengakuan ini menjadi satu syarat dilakukannya perdamian dalam bentuk pemaafan (pengampuanan) kepada pelaku. Melalui proses pengakuan ini, dinyatakan bahwa korban cukup puas dengan adanya pengakuan tulus dari pelaku dan permohonan maaf, sehingga korban dapat mendengar bagaimana sebenarnya suatu kejahatan tersebut dapat terjadi sampai pada proses bagaimana kejahatan itu berlangsung, yang diakhiri dengan permohonan maaf.
4.  Pemenuhan Hak-Hak Korban
Hak-hak korban meliputi kompensasi, restitusi dan Rekonsiliasi. Kompensasi yaitu ganti rugi yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya sesuai dengan kemampuan keuangan pelaku tindak pidana untuk memenuhi kebutuhan dasar, termasuk perawatan kesehatan fisikn dan mental.
Restitusi yaitu ganti rugi yang diberikan oleh pelaku kepada korban atau keluarga korban yang merupakan ahli warisnya, sedangkan rehabilitasi adalah pemulihan harkat dan martabat seseorang yang menyangkut kehormatan, nama baik, jabatan, atau hak-hak lain. Pemenuhan hak korban adalah satu keharusan mengingat mereka adalah pihak yang menderita, apalagi jika dikaitkan dengan semangat perdamaian yang memang merupakan sebuah langkah kebijakan yang diambil sebagai bentuk perhatian kepada korban di tengah-tengah persoalan tindak kejahatan.[11]

[1] Albert Eglash, 1977, Beyonde Restitution: Creative Restitution, Lexington, Massachusset-USA, hlm 95, yang dikutip oleh Rufinus Hotmaulana Hutauruk, 2013, Penanggulangan Kejahatan Korporasi melalui Pendekatan Restoratif.
[2] Ibid…hal.30
[3] Martin Stephenson, Henry Giller dan Sally Brown, Effective Practice in Youth Justice, Willan Publishing, Portland, 2007, hal. 163-166. Sebagaimana dikutip dalam DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, hal. 41.
[4] Kathleen Daly dan Russ Immarigeon, “The Past, Present, And Future of Restorative Justice : Some Critical Reflections”, dalam Contemporary Justice Review, 1(1), 1998, hlm. 24-26. Sebagaimana dikutip dalam DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice di Pengadilan Anak Indonesia, hal. 42.
[5] Sudikno Mentokusumo, Ilmu Hukum Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta, 1997, hal.98
[6] Joni Emirzon, Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2001, hal 3-5.
[7] Lambang Priyono dalam “Kebenaran VS Keadilan; Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu. “Ed. Ifdhal kasim dan Eddie riyadi Terre, Elsam, Jakarta. 2003, hal 70-71.
[8] Pius A Pratanto dan M. Dahlan Al Barry, “Kamus Ilmiah Populer”, Arkola, Surabaya, 1994, hal 363.
[9] Yohanes  da  masenus  Arus,  “The  Right  to  Know  the  Truth;  Kerangka  Normatif Pengungkapan Kebenaran”, dalam Yohanes dkk. Op.cit., hal 337.
[10] Ibid..
[11] Mahrus Ali, Syarif Nurhidayat, Penyelesaian Pelanggaran HAM BERAT In Court System & Out Court System, Jakarta : Gratama Publishing, 2011, Hal 301.

Komentar

Postingan Populer